
GERAKAN LITERASI SEKOLAH
Judul Buku : Mimpi-mimpi Lintang
Resume:
https://adoc.pub/mimpi-mimpi-lintang-andrea-hirata.html
![]() |
![]() |
||
mimpi-mimpi lintang
Andrea Hirata
Sumber ebook: Dewi KZ
jika dulu aku tak menegakkan sumpah untuk sekolahsetingg-tingginya demi
martabat ayahku, aku dapat melihat diriku dengan terang sore ini. sedang berdiri dengan tubuh hitam kumal,
yang kelihatan hanya mataku, memegang sekop menghadapi gunungan timah, mengumpulkan
napas, menghela tenaga, mencedokinya dari pukul delapan pagi sampai magrib, menggantikan tugas ayahku, yang dulu menggantikan tugas ayahnya. Aku
menolak semua itu! Aku menolak perlakuan buruk nasib kepada ayahku dan kepada
kaumku. Kini Tuhan telah memeluk
mimpiku. Atas nama harkat kaumku, martabat ayahku, kurasakan dalam aliran
darahku saat nasib membuktikan sifatnya yang hakiki bahwa ia akan memihak
kepada para pemberani."
Keberanian
dan keteguhan hati telah membawa Ikal
pada banyak tempat dan peristiwa. Sudut-sudut dunia telah dia kunjungi demi
menemukan A Ling. Apa pun Ikal
lakukan demi perempuan itu.
Keberaniannya ditantang ketika tanda-tanda keberadaan
A Ling tampak. Dia tetap mencari, meski tanda-tanda itu masih samar. Dapatkah
keduanya bertemu kembali? Novel ini menceritakan semua hal tentang Laskar
Pelangi, A Ling, Arai, Lintang, dan beberapa tokoh dalam cerita sebelumnya.
Tetap dengan sihir kata-katanya, Anda akan dibawa Andrea pada kisah yang
menakjubkan sekaligus mengharukan.
Andrea merupakan lulusan program studi master of science di Prancis dan Inggris.
Maryamah Karpov adalah karya pamungkasnya setelah Laskar Pelangi, Sang Pemimpi,
dan Edensor. Melalui tetralogi Laskar Pelangi
kita akan merasakan betapa setiap kalimat yang diciptakan memiliki kekuatannva
sendiri. Oleh karena itu, tetralogi Laskar Pelangi merupakan koleksi yang amat
berharga untuk dimiliki.
Andrea Hirata
DAFTAR
ISI
Mozaik 1 Dibungkus
Tilam, di Atas Nampan Pualam Mozaik 2 Asap
Hok Lo Pan Menguap
Mozaik 3 Ruang Pucat Jilid 1
Mozaik 4 Calon Grand Master Catur Itu Merah Mukanya
Mozaik 5 Fine
by Me, Kins Mozaik 6 Puisi Tahun Lalu Mozaik 7 Sinting
Tapi Pintar
Mozaik 8 Sumbu Kompor dari Jakarta, Tahu!
Mozaik 9 Shiet
Lu, Rahan, dan Gajah Menari-nari Mozaik 10 Garsong:
Sedikit Sengau Tentu Saja Mozaik 11 Dendang Gembira Suka-Suka
Mozaik 12 Seni
Menikmati Seni Mozaik 13 Lelaki Berwajah Dangdut
Mozaik 14 Waktu
Terperangkap dalam Stoples Mozaik 15 Selamat
Datang, Tonto!
Mozaik 16 Bulan
Pecah, Malaikat Bertaburan Mozaik 17 Penyambutan nan Mengharukan Mozaik 18 Perempuan
Itu Tak Menangis Mozaik 19 Syzygiwn Jambos
Mozaik 20 Berahim
Harap Tenang Mozaik 21 Barbara
Mozaik 22 Juru
Muda Pompa Mozaik 23 Presiden
Mozaik 24 Janji
Setia Empat Puluh Tahun Mozaik 25 Mereka
Tak Butuh Dokter Gigi Mozaik 26 Perempuan Saraf Tegang Mozaik 27 Embargo
Mozaik 28 Lelaki Bujang Lapuk yang Tinggal dengan
Ibunya
Mozaik 29 Dua Alis Naik Tiga
Kali
Mozaik 30 Cintanya
Sedahsyat Terjangan Badai Mozaik 31 16 Mei
Mozaik 32 Rukam
Lampau Musim Mozaik 33 Tato
Kupu-Kupu Mozaik 34 Misteri Musim Selatan Mozaik 35 Negeri Jiran
Mozaik 36 Tenungnya Mampu Menyeberangi Laut
Mozaik 37 Berae
Mozaik 38 Koin lima Perak
Mozaik 39 Pembuat
Papan Menari Mozaik 40 Perahu
Asteroid Mozaik 41 Tiang Keramat
Mozaik 42 Masih Seperti Dulu
Mozaik 43 Rencana-Rencana
Seminggu Berselang Mozaik 44 Ia Sedang Mencari Tuhan
Mozaik 45 Mereka yang Tidak
Mengaji Adalah Manusia Krosboi
Mozaik 46 Cara Pandang Mozaik 47 Sains
Perahu Mozaik 48 Filosofi Biola Mozaik 49 Armada
Hang Tuah Mozaik 50 Tunggu
Aku
Mozaik 51 Dekat
Sekali Seperti Nyawa Mozaik 52 Makhluk
Zaman Pleistosen Mozaik 53 Budaya Warung Kopi Mozaik 54 Dalil Lintang
Mozaik 55 Hari Kebangkitan
Mozaik 56 Tak Tertanggungkan Mozaik 57 Mimpi-Mimpi Lintang Mozaik 58
Dia Tak Perlu Radio Mozaik 59 Musim Barat
Mozaik 60 Nai
Mozaik 61 Pirates of Caribbean Mozaik 62 Dayang Kaw ...
Mozaik 63 Mahar dan Maura Mozaik 64 Kisah Sebelas Pulau
Mozaik 65 Pulau
Kuburan Mozaik 66 Pulang
Mozaik 67 Kambuh
Mozaik 68 Sama
dengan Hukum Menambah Isteri Mozaik 69 Tertawa
Enam Tahun
Mozaik 70 Ruang
Pucar Jilid 2 Mozaik 71 Empat Puluh Enam Tahun Mozaik 72 Puisi
Mozaik 73 Komidi Putar
Mozaik 1
![]() |
Dibungkus Tilam, di Atas Nampan Pualam
SEBAGAIMANA Kawan
telah tahu. Aku ini, paling tidak menurutku sendiri, adalah lelaki yang
berikhtiar untuk berbuat baik, patuh pada petuah orangtua, sejak dulu. Rupanya,
begitu pula ayahku yang sederhana itu. Katanya, ia selalu menempatkan setiap
kata ayah- bundanya di atas nampan pualam, membungkusnya dengan tilam.
Dan ternyata, Tuhan
menerapkan dalil yang tetap untuk lelaki sepertiku dan ayahku, yakni: lelaki
seperti kami umumnya jarang diganjar dengan ujian yang oleh orang Melayu Dalam
sering disebut sebagai cobaan nan tak tertanggungkan.
Oleh karena itu,
seumpama di koran-koran tersiar berita tentang seorang pria yang sedang
bersepeda santai pada Minggu pagi yang cerah ceria, tra la la, tri li li,
sekonyong-konyong, tak tahu kenapa, sepedanya oleng dan ia tertungging ke dalam
sumur angker gelap gulita, tak dipakai lagi, dalamnya dua belas meter, perigi
sarang jin, bekas tentara Jepang mencemplungkan pribumi. Lelaki periang itu pun
berteriak-teriak panik minta tolong. Tak ada yang mendengar jeritnya, selama
empat hari empat malam. Habis suaranya. Akhirnya ia minta tolong lewat
kliningan sepedanya. Kring, kring, lemah menyedihkan. Naudzubillah, tragedi
semacam itu biasanya menimpa orang lain, bukan menimpa pria sepertiku dan
ayahku.
Atau, seandainya
hujan lebat, petir menyambar tiang listrik,
tiang listrik roboh menimpa pohon sempret, pohon sempret tumbang menimpa pohon
mengkudu, pohon mengkudu terjungkal
menabrak atap rumah, atap rumah ambrol
menimpa belandar, belandar ambruk menghantam televisi, televisi meledak dan
seorang lelaki yang tengah duduk manis menonton acara TVRI 'Aneka Ria Safari" kena sambar
listrik televisi, televisi hitam putih lagi.
Rambut, kumis, dan alisnya hangus sehingga ia
seperti pendekar Shaolin. Dapat dipastikan, lelaki sial itu bukanlah
aku, bukan pula ayahku.
Atau lagi,
misalnya merebak berita soal seorang pria keriting yang dilarikan ke rumah
sakit, ambulans meraung-raung, tergopoh-gopoh menuju ruang tanggap darurat, sebab pria itu ketika
makan buah duku, tak tahu kenapa, biji duku melenceng masuk ke lubang
hidungnya, hingga ia tersengal-sengal sampai nyaris lunas nyawanya. Pria itu
bisa saja absurd dm keriting, tapi ia bukan aku.
Satu-satunya
berita yang pernah melanda ayahku hanyalah soal naik pangkat. Aku kelas tiga SD
waktu itu.
Bukan main senangnya
Ayah waktu menerima surat dari Pak Nga Djuasin bin Djamalludin Ansori, mandor
kawat Meskapai1 Timah, bahwa akan ada promosi bagi kaum kuli tukang
cedok pasir di wasrai. Wasrai dimelayu- kan dari kata Belanda wasserijk, yang
artinya 'bengkel pencucian timah'. Kuli yang akan naik pangkat salah satunya
Ayah. Surat itu, pagi tadi dibaca ibuku, sebab Kawan juga tentu sudah mafhum
betapa mengharukannya pengetahuan ayahku soal huruf-huruf Latin.
![]() |
1 Maskapai.
Begitu mendengarnya,
Ayah yang amat pendiam, seperti biasa, tak berucap sepatah pun. Kutatap wajahnya yang melempar senyum ke
luar jendela dan membuang pandang ke
pucuk pohon kenanga, dan kubaca
dengan terang di sana: syahdu seperti aktor India
baru menyatakan cinta, dan bangga.
Selebihnya, tak dapat disembunyikan kesan raut wajah Ayah: tak percaya
Tak percaya, bahwa
akhirnya setelah membanting tulang-belulang tiga puluh satu tahun, ada juga
orang yang membicarakan soal kedudukannya. Selama tiga puluh satu tahun itu
Ayah tak pernah naik pangkat, tak pernah, sejak ia menjadi kuli meskapai dari
usia belasan.
Tak
percaya, bahwa kata pangkat bisa disangkut- pautkan dengan pekerjaannya yang
tak ada hal lain berhubungan dengannya selain mandi
keringat.
Tak percaya,
bahwa ada orang lain, selain anak- anaknya yang berkirim surat padanya. Dengan
amplop cokelat berkilat dan kaku seperti kopiah, plus kop surat berlambang
meskapai yang gagah: sebuah gerigi besar dan palu lambang kerja keras pagi
sampai petang.
Tak percaya, surat
di tangan ibuku benar diteken oleh Mandor
Kawat Djuasin yang puluhan tahun menindasnya. Berkali-kali Ayah menerawang
tanda tangan itu, benar basah tinta pena biru, dari tangan yang dipertuan
mandor sendiri, adanya.
Tak
percaya, lantaran Ayah merasa dirinya biasa naik pohon nira untuk menitih2
air legen, biasa naik pohon
![]() |
2 Mengambil dengan cara menoreh seperti yang
dilakukan pendaras pada pohon karet.
medang
untuk menyarai3 madu angin, biasa naik pohon kelapa untuk membantu
tugas beruk, tapi naik pangkat? Naik pangkat tak masuk dalam perbendaharaan
kata Ayah yang tak punya selembar pun ijazah. Kata-kata itu asing dan ganjil di
telinganya. Bagi Ayah, naik pangkat adalah kata-kata ajaib milik orang Jakarta.
Ayah memalingkan
senyumnya dari bingkai jendela padaku. Amboi! Inilah yang kutunggu-tunggu dari
tadi! Surat itu mengatakan bahwa beserta surat keputusan pengangkatan yang akan
diserahkan secara massal Sabtu esok, akan dilampirkan pula amplop rapel gaji
karena naik pangkat itu harusnya telah terjadi enam bulan silam. Aku tahu
persis, senyum Ayah untukku hanya bermakna satu hal: kue hok lo pan di atas loyang yang berasap-asap! Karya agung
orang Khek yang congkak itu: Lao Mi.
Senyum Ayah yang
bernuansa amplop rapel enam bulan itu pun lalu terurai-urai menjadi buku tulis
indah bergaris tiga—sampulnya gambar artis-artis cilik dari Ibu Kota
Jakarta—pensil warna-warni seperti sering kulihat dibawa anak-anak sekolah
Meskapai Timah, penggaris segi tiga, jangka, papan halma, dan tas sekolah yang
seumur-umur tak pernah kupunya.
Ibu pun
berdeham-deham sambil membetulkan peniti kebayanya. Kira-kira maksudnya: sudah
tiga kali Lebaran kebaya encimnya itu-itu saja. Ayah membalas semuanya dengan
senyum nan menawan: beres, demikian arti senyum terakhir yang mengesankan itu.
Aku melonjak girang
Ayah
melangkah meninggalkan dapur. Aku mengikuti
3 Cara mengusir kawanan lebah dari sarangnya
dengan menggunakan asap dari pembakaran di bawah sarang.
setiap
langkah bangganya. Aku tahu persis, rapel buruh itu hanyalah segepok uang
receh. Namun ayahku, Ayah juara satu seluruh dunia, arsitek kasih sayang yang
tak pernah bicara, selalu mampu menggubah hal-hal sederhana menjadi begitu
memesona.
Mozaik 2
Asap Hok Lo Pan Menguap
RITUAL rutin Ayah:
sesudah shalat subuh dan mengaji, ia duduk di kursi goyang sambil mendengar
siaran radio Malaysia. Timbul-tenggelam lagu-lagu semenanjung, kemerosok. Sejak
aku bisa mengingat, seingatku sudah begitu.
Kadang kala tombol
tuning radio Philips kecil itu diputar Ayah menuju Hilversum, Holland, atau
menuju London. BBC samar-samar, sayup-sayup sampai, naik- turun serupa
gelombang sinus, mengabarkan berita dari tempat-tempat asing yang tak kukenal.
Aku tertegun di balik tirai, mengintip Ayah dan terbuai musik-musik dari negeri
yang jauh. Maka, meski aku orang kampung dan kampungan, dari kecil telah
kukenal Engelbert Humperdinck, Paul Anka, Louis Armstrong, dan vokalis
legendaris Nat King Cole. Suara mereka, saban subuh, sahut-menyahut dari satu
bubungan rumah panggung ke bubungan lain.
Orang
Melayu Dalam, gemar betul mendengar radio.
Radio
adalah elemen penting budaya mereka.
Enam
puluh menit, tak pernah lebih ritual Ayah bersama radio transistor Philips.
Lalu dibukanya tutup belakang radio itu, dikeluarkannya dua batu baterai
bergambar kucing hitam. Baterai itu diletakkannya di sebuah bangku kecil khusus
di pekarangan untuk dijemur cahaya matahari agar bertenaga lagi. Pemandangan
ini tampak di depan rumah orang Melayu, saban hari. Tapi pagi ini Ayah agak
cepat sedikit. Sebab beliau sibuk berdandan dengan pakaian terbaiknya sepanjang
masa:
baju safari empat saku. Demi satu acara penting: naik pangkat!
Aku pun mandi lebih
pagi, lalu dinaikkan Ayah ke atas
boncengan sepeda. Diikatnya kakiku dengan saputangan biar tak celaka kena
jari-jari ban. Ayah akan naik pangkat, sungguh istimewa. Ayah akan mengambil
amplop rapel gajinya! Lalu pulangnya kami akan singgah di Pasar Jenggo. Ayah
akan membelikanku hok lo pan, tas sekolah yang tak pernah kupunya, dan kebaya
encim baru untuk Ibu. Begitulah skenarionya. Naik pangkat, ternyata indah bukan buatan.
Tersenyum.
Aku, Ibu, dan Ayah tak berhenti tersenyum sejak subuh, sejak semalam.
Sepeda
meluncur deras melewati Pasar Jenggo, pagi dan ramai. Gerobak hok lo pan si
sombong Lao Mi sudah dikerumuni pembeli. Aromanya hanyut sampai ke hulu Sungai
Linggang.
Lao Mi, sudah
kondang galaknya. Ia pembuat kue hok lo pan terbaik di dunia. Tak ada duanya.
Ia mewarisi ilmu kue loyang itu sepanjang empat generasi. Seperti kebanyakan
orang yang telah mencapai tingkat maestro, wajahnya tak peduli. Seakan para
pelanggan menyusahkan saja. Pembeli yang rewel minta ini-itu dihardiknya. Dalam
hati aku berdoa, mudah-mudahan jika kami kembali nanti, hok lo pan lezat itu
belum habis, dan mudah-mudahan aku tak dimarahi Lao Mi.
Sampai di halaman
luas gudang beras, ratusan kuli pencuci timah sudah berbaris panjang, antre
berdasarkan urut abjad nama. Semua riang gembira karena akan naik pangkat dan
terima rapel. Ayah bergegas memarkir sepeda dan
menyelinap di antara kuli-kuli yang
bernama depan huruf S. Agak di belakang
tentunya.
Aku dan para
keluarga kuli yang turut bersukacita, beratus-ratus pula jumlahnya, duduk di
semacam anjungan menyaksikan ayah, suami, mertua, kekasih, sepupu, ipar, cucu,
anak, atau menantu naik pangkat. Mereka bersorak-sorai setiap nama keluarganya
dipanggil Mandor Djuasin. Ribut sekali sampai panitia susah payah menertibkan
lewat megafon.
Kuli
yang dipanggil bergegas setengah berlari untuk mengambil surat keputusan.
Setelah menerimanya, sambil menyalami
Mandor Djuasin seperti menyalami presiden, ada yang melompat-lompat girang, ada
yang membekap surat itu di dadanya dan berlalu dengan kesan betapa baik hati
Meskapai Timah padanya dan keluarganya, ada yang menyembah, dan ada yang menangis haru, sampai sesenggukan.
Akhirnya, sampailah
panggilan ke urutan nama S. Aku
berdiri dan melambai-lambai pada Ayah seperti
menyemangati kontingen PON. Satu per satu nama berawalan S
dikumandangkan lewat megafon. Para kuli yang
berawalan nama S berlarian sampai pada seseorang di depan Ayah, namanya Serahi
bin Mahmuddin Arsyad. Serahi berteriak sembari mengepalkan tinjunya
tinggi-tinggi karena gembira tak terkira.
Setelah Serahi, Ayah
bersiap-siap seperti pelari mengambil ancang-ancang. Namun, Ayah terkejut karena nama berikutnya yang
dipanggil bukan nama Ayah, melainkan nama seseorang persis di belakang Ayah.
Ayah tertegun dan kebingungan. Orang di belakang Ayah itu bersorak girang,
menyalip Ayah dari samping dan berlari menuju podium. Lalu aku dan Ayah terkesiap
karena nama berikutnya yang dipanggil juga
bukan
nama Ayah, demikian pula berikutnya. Ayah terpana menyaksikan satu per satu
kawan-kawannya melewatinya. Nama-nama terus dipanggil, sambung- menyambung,
masih tak terdengar nama ayah. Jika ada nama yang sama, unit kerjanya bukan
unit ayah. Ayah tertunduk. Sampai nama terakhir berawalan Z, tak seorang pun
memanggil Ayah.
Akhirnya, tinggallah
ayahku berdiri sendirian di halaman gudang beras yang luas. Ayah menoleh ke
kiri dan kanan, menoleh sekeliling, tak ada siapa-siapa selain orang-orang yang berbisik-bisik di
sudut-sudut lapangan sambil memandanginya. Ayah yang lugu masih berdiri
menunggu kalau-kalau panitia terlewat memanggil namanya. Namun, pengeras suara
telah dipadamkan. Ayah berjalan menunduk sambil membetul-betulkan kerah baju
safari empat sakunya. Aku tahu perasaannya telah hancur, dan aku luruh karena
kasihan melihat ayahku. Dadaku sesak, jemariku bergetar-getar menahan air mata.
Sungguh malang nasib Ayah, tak tertanggungkan rasanya kejadian ini. Namun, Ayah
tiba- tiba menegakkan tubuhnya. Sejurus kemudian ia berjalan menuju
kawan-kawannya. Ayah menyalami mereka satu per satu untuk mengucapkan selamat.
Begitu besar jiwanya. Mereka menepuk-nepuk pundak Ayah, dan aku membeku di
tempatku berdiri, jemariku dingin.
Malamnya,
Mandor Djuasin datang ke rumah untuk minta
maaf bahwa telah terjadi kekeliruan administrasi. Karena begitu banyak kuli
yang harus diurus, belum termasuk
begitu banyak Said sebagai nama belakang orang Melayu. Sekaligus Mandor
mengabarkan peraturan Meskapai yang menyebut bahwa kuli yang tak berijazah
memang tak kan pernah naik pangkat. Perlakuan untuk Ayah, katanya, sama seperti
perlakuan pada para kuli dari suku Sawang yang
bekerja sebagai
buruh yuka atau penjahit karung timah. Buruh-buruh paling kasar itu
juga tak satu pun berijazah.
Ayah, dengan penuh
takzim menerima penjelasan itu. Beliau bahkan menyampaikan simpatinya akan
betapa berat tugas Mandor Djuasin mengelola ribuan kuli, dan betapa Ayah
berterima kasih pada Mandor karena telah mengiriminya surat yang bagus
berlambang meskapai nan terhormat pula, serta menandatangani sendiri surat itu
meski surat ku salah alamat. Aku tak dapat menahan perasaanku. Air mataku
beriinang-linang saat mengintip Ayah mengucapkan semua itu, karena dari balik
pintu aku tahu makna ketulusan wajah ayahku. Sungguh bening hati lelaki pendiam
itu, dan detik itu aku berjanji pada
diriku sendiri, untuk menempatkan setiap kata ayahku di atas nampan pualam, dan
aku bersumpah, aku bersumpah akan sekolah setinggi-tingginya, ke negeri mana
pun, apa pun rintangannya, apapun yang akan terjadi, demi ayahku.
![]() |
Mozaik 3
Ruang Pucat Jilid 1
SETELAH kejadian
naik pangkat itu, hidup keluarga kami damai-damai saja. Dalil Tuhan untuk
pria-pria sepertiku dan Ayah tetap berlaku. Tak ada lagi cobaan nan tak
tertanggungkan menempeleng kami. Hidup beriak-riak
kecil, berombak sesekali karena karma-karma
adalah lumrah. Ayah kembali membanting tulang sebagai kuli di wasrai,
sering kulihat bahu-membahu dengan buruh dari suku Sawang. Mereka bersekutu
secara tidak resmi dalam sebuah perkumpulan persaudaraan senasib bagi warga
Republik tak berijazah.
Lao Mi, makin
dibutuhkan, makin jadi lagaknya, tapi siapa sih yang kuasa menolak hok lo
pannya yang rasanya dapat membuat lupa akan mertua itu? Ibu, dengan wajah
sedikit menerawang, menisik robek-robek kecil kemeja encimnya. Maka fashion
beliau lebaran tahun ini kupastikan tak kan begitu mengikuti trend di Jakarta
untuk suasana hari raya. Menunduk, tekun, tak banyak cincong. Aku melipat buku
untuk dikantongi atau menyisip-nyisipkannya di celah celana di bawah punggung.
Sampai di kelas, buku-buku itu basah seperti kangkung karena keringat sebab
Ayah tak jadi dapat rapel, aku batal punya tas sekolah.
Kegiatan Ayah
berikutnya ditandai lima hal saja: shalat, mengaji, mendengarkan radio,
mencukur rambut ke Pasar Jenggo, dan diam, diam tak bersuara. Mandor Djuasin
masih seperti Mandor Djuasin. Sementara orang- orang Melayu lain, bermain catur
di warung kopi sambil membualkan rusa sebesar kerbau bunting yang
memutuskan
jaring kawat berduri mereka semalam di rimba Membalong Konon rusa asli Pulau
Belitong tinggal lima ekor. Makin langka jumlahnya, makin bernafsu mereka
memburunya. Mandor Djuasin adalah salah seorang dari sangat sedikit lelaki Melayu yang tak senang bertandang ke warung kopi, dan satu dari yang jauh
lebih sedikit yang tak suka membual.
Alam pegang kuasa,
hari pun berganti-ganti. Sebentar-sebentar sudah Jumat lagi. Siang ditelan
malam, malam ditelan siang Mandor Djuasin tetaplah mandor meski presiden sudah
berupa-rupa. Begitu juga kami, orang Melayu Pedalaman, masih saja miskin.
Keluarga kami belajar melupakan harapan bahwa Ayah akan naik pangkat. Impian
itu mesti dipendam dalam- dalam seperti mengubur tembunek, sebutan orang Melayu
untuk tali pusar orok. Lalu kami belajar untuk mencari-cari kebahagiaan kami
sendiri. Sebab di negeri ini, mengharapkan pemerintah memberi kita kebahagiaan
agak sedikit riskan. Pemerintah sibuk dengan kebahagiaannya sendiri.
Di
tengah kisah, malang pun tak dapat ditolak sebab
dalam kemiskinan yang mapan itu, Tuhan mengujiku. Apa yang dialami Ayah,
cobaan nan tak tertanggungkan itu, akhirnya menimpaku juga.
Tak pernah kusangka
aku akan jadi korban kejahatan yang mengerikan. Pun tak pernah kuduga, otak kejahatan
itu, dan begundal-begundal suruhannya, adalah kawan-kawanku sendiri. Di ruang
pucat ini, teori bahwa kekejaman sering dilakukan orang-orang terdekat,
terbukti.
Darah bersimbah-simbah dari mulutku. Ia panik. Aku menangkis-nangkis.
“Pegangi
dia! Pegangi kuat-kuat!" Lenganku direngkuh dua lelaki kasar. Aku
terbelalak kesakitan, menggelinjang-gelinjang.
"Kamu! Ya,
kamu, masuk! Tangkap kakinya!" Seorang pria sangar menghambur. Ia memeluk
kakiku. Kukais-kaiskan tumit untuk menerjang. Seorang pria lain, tanpa diperintah, meloncat. Ia
menindihkan tubuh gempalnya di atas
lututku, liat berminyak-minyak. Aku tak berkutik. Ngilu memuncak ke ubun-ubunku.
Ia memaksaku dengan
metode yang tak dapat disebut terhormat. Hampir dua jam aku teraniaya. Maka terbongkarlah siapa dia sebenarnya:
perempuan yang mampu menggerakkan orang untuk menuruti niatnya meski niat itu
mengerikan, fokus pada tujuan, sistematis, dan keras seperti kawat. Namun,
sekuat apa pun berusaha, ia belum mendapatkan secuil pun maunya.
Aku tersengal. Kutantang
matanya, ia mengadu tatapku, berapi. Aku telah mengalami banyak hal
menyakitkan. Sejak kecil, setiap segi dalam hidupku mesti diperjuangkan seperti
perang. Menyerah adalah pilihan yang menghinakan bagiku. Tak pernah aku takluk
pada apa pun tanpa lebih dulu berjibaku. Tapi aku juga kenal benar perempuan
ini. Ia hanya mau berhenti beraksi jika merasa menang. Ego adalah gunung dalam
dirinya, dan kini egonya itu longsor. Tak ada opsi lain baginya selain
membekukku. Karena apa yang terjadi di sini
adalah timbangan martabatnya, taruhan harga dirinya. Ia harus membayar setiap
sen ragu orang atas kuasa yang ditumpukan padanya, karena pilihan nekat
hidupnya. Maka semua ini pasti akan berakhir dengan buruk, berantakan,
berdarah-darah. Nanti akan kuceritakan kepadamu, Kawan, tentang perempuan yang
membuatku menanggung cobaan nan tak
tertanggungkan itu.
Mozaik 4
![]() |
Calon Grand Master Catur Itu Merah Mukanya
BAGAIMANA
aku sampai terperangkap dalam ruang pucat yang menggiriskan itu adalah
rangkaian cerita kelu yang kualami setelah hidup berlinang-linang madu pada
akhir masa studiku.
Semuanya
berawal dari Ramadhan.
Tak ada yang lebih berat bagi umat Muhammad yang gemulai imannya selain
puasa di Eropa pada bulan September. Matahari sekejap menyulap gelap lalu
sekonyong-konyong memuntahkan siang.
Dan
siang, Kawan, betah sekali berlama-lama. Tak kurang dari delapan belas jam ia
bercokol di langit Eastern Hemisphere. Pukul sepuluh malam masih terang
benderang.
Setelah sembilan jam
puasa, aku mendongak keluar jendela, dan di sana sinar kuning matahari masih
terpantul riang di bangku-bangku batu taman. Empat jam ku longok lagi, tak
seberkas pun pudar. Para imam rupa- rupa mazhab, para ketua Dewan Syuro,
bolehlah bertengkar soal berapa jam seorang muslim layaknya puasa. Ayahku
sendiri mengajariku agar berbuka jika matahari sudah sembunyi. Kupegang saja
ajaran lama itu sambil keroncongan dan mengutuki diri mengapa tak sahur
semalam.
Ini
gara-gara ketololanku sendiri. Setelah berbuka se- adanya dan tarawih, aku
belajar sampai larut lalu tertidur karena pening dan lelah. Aku terbangun
melangkahi
subuh.
Hangus sudah sahur yang penting itu. Sekarang aku mendapati perutku seperti
diaduk puting beliung. Pukul delapan malam, kepalaku rasanya sebesar labu.
Demikian implikasi hipotensi4 akutku jika enam belas jam tak
bertatap muka dengan nasi. Sementara puasa telah menginjak minggu terakhir.
Daya tahanku kian rontok dan ketika ia terjun ke titik terendah, hari ini,
pukul sembilan malam nanti, aku harus mengikuti sidang akhir tesisku. Suasana
masih terang benderang, waktu buka puasa baru hinggap di Skandinavia, masih
sangat jauh dari Prancis.
Sengsara sedikit
sirna waktu aku mematut-matut dandananku. Baiklah, mari kumulai dari dasi Hedva
cokelat muda bergaris-garis, jas dengan bantalan busa di bahu-bahunya, dan
kardigan yang juga cokelat muda. Famke Somers, tentu kawan masih ingat sobat
lamaku itu, mengutarakan pandangannya:
"Percayalah nasihatku, warna cokelat muda itu akan membuatmu
tampak sedikit lebih pintar."
Aku
tak ragu, seorang model Dolce and Gabbana tentu punya wewenang ilmiah menakar
busana. Tak ada alasan mendebatnya. Faktanya, ketika setelan serbacokelat muda
itu tersemat di tubuhku, tak pernah aku merasa lebih kalis daripada itu, madu.
Ruang ujian sidang
tesis itu sendiri terletak di ujung
selasar dalam bangunan yang terpisah semacam
paviliun, tapi atapnya menjulang mancung mirip atap gereja-gereja Anglikan. Lumut tumbuh di tepi-tepi atap
akibat air hujan yang tergenang karena tersumbat daun busuk cecille oak yang tak rimbun tapi tua dan tinggi.
Lantainya, mozaik eksotis yang akan mengingatkan
4 tekanan darah rendah
siapa
saja pada tempat-tempat seperti Iskandaria, Granada, atau Casablanca, atau
kisah-kisah tentang para pengembara di bawah langit
Sahara, tentang perjuangan hamba sahaya, dan asmara terlarang. Motif lantai
atau kaca warna bernada serupa selalu kutemui di
lembaga-lembaga intelek Prancis, sebagai refleksi rasa hormat mereka
pada para cendekiawan masa lampau dari jazirah.
Lantai
yang baru saja kusebut itu mengilap, memantulkan matahari yang mencuri-curi
masuk lewat celah jeruji berulir keparsi-parsian. Pantulan itu ditangkap oleh
lukisan wajah berewokan fisikawan gaek Prancis penemu radioaktivitas Antoine Henri
Becquerel pas di bawah dagunya yang tegas sehingga ia tampak seperti seorang
penyamun.
Selain Antoine, tak
ada siapa-siapa sepanjang selasar yang lebih mirip terowongan itu. Bangku kayu
rasuk diletakkan menghadap frontal ke pintu tinggi ruang sidang. Pintu itu dari
kayu Ubmts glabra yang konon ratusan tahun dijarah tentara Napoleon dari
hutan-hutan Finlandia, hitam berwibawa dan besar gerendelnya. Benda-benda itu
selalu membuatku rajin belajar. Karena mereka
mengembuskan aroma bahwa tempatku akan disidang
nanti bukanlah tempat bersenda gurau seperti yang kulakukan dalam kebanyakan
waktu hidupku. Ini soal benar-benar, tidak main-main.
Jika dilihat dari
satu sudut melalui sebuah beranda di bawah
pohon cecille oak tadi, dan jika dibayangkan apa
yang akan terjadi dalam ruangan di balik pintu hitam itu, jarak lima
belas meter antara kursi rastik dan sang pintu itu bolehlah diumpamakan seperti
green mile, yakni ruang bagi
langkah-langkah terakhir antara bui dan kursi
listrik bagi seorang narapidana hukum mati. Sebab dalam
ruang
sidang itulah para akademisi menarung nasib.
Aku duduk di
bangku itu. Gugup dan lapar. Ninochka Stronovsky masih di dalam. Samar kudengar
calon grand master dari Georgia ku agak kurang yakin dengan jawabannya.
Seseorang memaki, "Is that the best you can do as a master student?! Tell
me more! Elaborated' Aku terperanjat. Itu tak lain lolongan LaPlagia, petinggi
jurusan Economics Science yang kondang karena temperamental.
Namun, aku tak
gentar. Sama sekali bukan karena aku mahasiswa yang pandai, melainkan aku telah
menghabiskan seluruh musim gugur tiga bulan penuh mempersiapkan sidang ini
dengan belajar sampai mataku rasanya juling Kuantisipasi bermacam kemungkinan
akan kena gulung. Aku ingin membuat para profesor gaek itu manggut-manggut,
kehabisan kata-kata cerdas untuk
menindasku.
Aku berjerih payah
karena tak ingin mengecewakan Dr.
Michaella Woodward yang memberiku beasiswa Uni Eropa dulu, dan terutama karena
tak mau meraupkan abu ke muka profesor sepuh Hopkins Turnbull, supervisor
tesisku, yang kepada para koleganya sering menyebutku sebagai mahasiswa
terakhirnya.
Soal
mahasiswa terakhir pernah kutanyakan kepada salah seorang koleganya itu,
seseorang yang kukenal dengan baik: Raina Chauduri Paksi.
"Ibu, dapatkah digambarkan padaku bagaimana wajah Prof Turnbull
waktu menceritakan kepada orang- orang itu bahwa aku mahasiswa bimbingan terakhirnya?"
Maksud
hatiku sesungguhnya: apakah Turnbull tampak sedikit senang? Raina, dosen
ekonometrik separuh baya, menatapku
kosong dan lama,
lalu ia
melengos dengan gerakan seperti nelayan paceklik buang sauh. Saat
itulah aku mafhum bahwa Turnbull tak terlalu bangga padaku.
Namun, aku tetap ingin Turnbull pensiun dengan satu kenangan yang elok tentangku. Satu kenangan pamungkas nan manis untuk menutup empat puluh satu tahun abdinya sebagai dosen, delapan belas tahun di antaranya sebagai guru besar. Di balik pintu
BLOG Nurlaila Safitri Gajah, S.Pd LAINNYA
Mimpi-mimpi Lintang
https://adoc.pub/mimpi-mimpi-lintang-andrea-hirata.html mimpi-mimpi lintang Andrea Hirata Sumber ebook: Dewi KZ jika dulu aku tak menegakkan sumpah untuk sekolahsetingg-tingginya...
Read MoreNurlaila Safitri Gajah, S.Pd 11:10:27 11-10-2021
Adab Murid Terhadap Guru
Memilih Guru dan Beristikharah?????: ??? ????? ?????? ?? ???? ????? ??????? ???????? ???? ????? ???Pertama, Hendaknya seorang murid menimbangdan melakukan istikharah kepada Allah tentangseorang guru yang mau diambil ilmunya2. Berakhlak Yang Baik ?????? ??? ??????? ??????? ???Mendapatkan kebaikan pe...
Read MoreAdministrator 09:40:07 12-08-2021
PENULIS
- GIZIA ANINDITA RAHMAWATI(3)
- Sri Teti Herawati, M.Pd(3)
- Administrator(2)
- IZAS ADILA ANGGRAENI(2)
- RAFLI MUHAMAD FIRMANSYAH(2)
- GABRIELLE NICHOLAS(1)
- KESYA NURKUSNA(1)
- SANITA AULIA(1)
- Ghefira Adistri Meira(1)
- DANIS SUPRIADI(1)
- ALFI NURLAELI RAMADHANI(1)
- FADLAN ERDITHIA(1)
- AKHSAN REVALDINE MUBAROKH(1)
- RISKA NUR`AENI RAHMAWATI(1)
- REVI FUJIANTI(1)
- KEYSYA MELODIA GUNAWAN(1)
- MOCH AZKA KURNIAWAN(1)
- DESTI ARIYANI(1)
- SHELLY HANDAYANI(1)
- SYAHLA GHAIDA NUR`ASILA(1)